Temu Penulis

Merajut Mata Mutiara

Merajut mungkin kata paling tepat yang dapat diberikan untuk novel Mata Mutiara. Penulisnya, Hamzah Puadi Ilyas, sangat lihai merajut berbagai kisah dalam novel perdananya. Dari mana saja ia menemukan ide dan bagaimana ia merangkaikannya menjadi satu, dituturkan dalam wawancara berikut.

Banyak yang telah dilihat Mutiara. Yang paling disenanginya adalah senyum anak-anak. Namun, banyak anak-anak yang tidak pernah tersenyum. Karena orangtuanya tidak pernah menginginkan kehadirannya. Padahal, si anak pun tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Seperti Mina yang disia-siakan oleh Sri, ibunya, dan Parman; ayah yang meninggalkannya bahkan sebelum ia dilahirkan.

Lain lagi dengan Anah. Walaupun suaminya telah lama meninggal, dengan sabar sendirian ia membesarkan Anto dan Ain. Kedua anaknya pun harus hidup seadanya. Bahkan, untuk membantu ibunya, mereka terpaksa mengamen. Tidak jauh berbeda dengan kakak-beradik Koko dan Damin. Damin, sang kakak, lebih memilih berpetualang dalam khayalan dengan menikmati bau lem. Sedangkan Koko kelihatannya senang menerima pelajaran yang diberikan Muti. Anak-anak yang lebih tua seperti Eta dan Tari, dihadapkan pada pilihan mendapatkan uang sedikit atau lebih banyak, tapi dengan mengerjakan pekerjaan yang tidak direstui oleh orangtua mereka.  Banyak orang yang tidak peduli pada mereka. Tapi tidak Mutiara. Ia tahu, membantu anak-anak itu adalah panggilan hatinya.

Galang, pacarnya, merasa tidak dapat mengikuti pemikiran Mutiara yang sangat memedulikan anak-anak jalanan. Sedangkan Ilham, teman Muti yang sekarang berprofesi sebagai wartawan, justru banyak membantu Muti membangun sekolah kolong yang dicita-citakannya. Ternyata, Ilham menyimpan perasaan suka terhadapnya.

Walaupun Mata Mutiara adalah novel pertamanya, Hamzah Puadi Ilyas sepertinya tidak mengalami kesulitan untuk merajut sebuah novel yang memiliki banyak tokoh dan plot. Dalam pembicaraan yang berlangsung di Jakarta School, Akhir April 2006, ia mengaku membuat novelnya seperti itu, “supaya menarik saja.”

Dari mana anda mendapatkan ide untuk setiap kisah dan karakter?
Kejadian-kejadian itu, sebagian ada yang saya ambil dari pengalaman saya sendiri. Ada juga yang terilhami kisah-kisah yang pernah saya lihat di teve atau saya dengar di radio, atau saya baca.

Kenapa akhirnya memilih bercerita tentang anak-anak jalanan?
Sebenarnya, cerita itu saya ambil dari cerpen yang pernah saya buat.
 
Anda menggabungkan banyak cerpen?
(Hamzah tersenyum) Nggak. Cuma saya kembangkan dari satu cerpen, kok.

Dimuat, di?
Waktu itu saya kirimkan ke majalah Kartini. Tapi sampai sekarang saya belum dapat kabar akan dimuat atau tidak.

Tidak masalah, kan? Toh, sekarang sudah diterbitkan menjadi buku.
(Lagi-lagi Hamzah tersenyum)

Bisa ceritakan proses pembuatannya?
Ini sebetulnya tugas akhir saya di Jakarta School. Saya ambil kelas novel di sana. Di permulaan kelas, setiap siswa kan disuruh menulis satu karya. Sebelum ikutan Jakarta School, saya sudah pernah menulis novel, jadi saya serahkan saja naskah yang itu. Tapi, kata Mas Yayan (Yayan Sopyan, salah satu pengajar di Jakarta School, red), novel saya yang pertama itu karakter dan ceritanya kebanyakan. Padahal waktu itu sudah di pertengahan kursus. Akhirnya saya mutusin untuk mencari cerita yang lain. Ketemulah Mata Mutiara itu.

Mata Mutiara pun menawarkan multiplot dan multikarakter. Apa bedanya dengan karya pertama anda?
Yang pertama ceritanya nggak fokus. Kalau yang sekarang (Mata Mutiara, red), walaupun karakter dan ceritanya banyak, tapi ada yang utama dan kejalin.

Awalnya saya mengira Mutiara hanya benang merah penyambung cerita yang lain. Tapi, kemudian di tengah cerita dia mulai punya konflik pribadi: datang Ilham, si wartawan itu. Kenapa?
Jawabannya sama seperti alasan saya membuat tulisan itu jadi banyak karakter dan plot. Supaya lebih menarik saja. Juga untuk memperkuat cerita karakter utama saya.
Sebetulnya saya ingat Mas Sulak (A.S. Laksana, salah satu pengajar di Jakarta School, red) waktu membuat tokoh Ilham. Rambutnya gondrong. Biasanya wartawan kan rambutnya juga gondrong. Jadi, saya bikin si Ilham itu berambut gondrong juga.

Tokoh utama anda ini kayaknya, penyayang banget. Baik banget. Sempurna banget. Ada alasan khusus, atau anda merefrensi kepada seseorang yang khusus buat anda?
(Hamzah tertawa) Nggak. Mutiara itu sebetulnya nama anak dosen saya.
Dosen saya itu suka cerita kalau anaknya cantik. Namanya Mutiara, panggilannya Muti. Katanya, anaknya itu mirip bule. Waktu itu, saya sendiri lagi dalam pencarian “siapa, ya, nama tokoh saya”. Waktu saya nulis, saya membayangkan tokoh utama saya ini orangnya juga cantik. Terus saya pikir, kenapa nggak saya namain Mutiara saja? Akhirnya saya hubung-hubungkan. Saya buat alasan, kenapa bapaknya memberi nama Mutiara. Cuma itu idenya.

Kenapa memilih tokoh utama perempuan?
Mungkin karena cewek sifatnya lebih lembut, lebih perasa. Jadi, saat menggambarkan kondisi sosial, lebih mengena kalau tokohnya cewek.

Selain Ayu Utami, Hamzah juga menyukai Hamka. Ia mulai membaca Hamka saat ia masih duduk di sekolah dasar. Selain Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli, Hamzah paling menyukai Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Ia mengaku, sampai menangis saat membaca buku itu.

Apakah novel ini pengalaman pertama anda menulis?
Waktu SD saya pernah menang juara mengarang se-Tangerang. (Hamzah tersenyum)
Yaaa, pengalaman menulis saya yang terakhir, waktu saya kerja di RS Graha Medikita, saya jadi satu-satunya kontributor buat rubrik cerpen di majalah internal. Kalau di media massa. Yang terakhir, cerpen saya dimuat the Jakarta Post dua tahun lalu.

Cerpen berbahasa Inggris?
Ya. Kebetulan saya juga ngajar di LIA.

Kalau pengalaman menulisnya sudah banyak, kenapa belajar menulis lagi di Jakarta School?
Beda, ya. Kalau di sini, saya punya pertanyaan, bisa dapat feedback langsung”selama ini kan saya belajar menulis hanya dari buku-buku Creative Writing.

Apa obsesi anda selanjutnya?
Kebetulan saya lagi ambil S1 Sastra Inggris di STIBA. Di sana ada mata kuliah Creative Writing 2 SKS. Dosen saya yang ngajar mata kuliah itu, ngaku kalau dia sendiri bukan penulis. Sekarang kan buku saya sudah terbit. (Hamzah tersipu) Saya pengen jadi dosen Creative Writing di kampus saya, menggantikan dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *