Kabar Mediakita, Temu Penulis

Di Balik Penulisan Buku Bandung Menjelang Pagi

brian khrisna

Bandung, yang sering dianggap sebagai kota romantis dengan pesona dari Braga dan Dago, ternyata memiliki sisi lain yang jarang terungkap. Terinspirasi oleh pengalaman pribadinya saat tinggal di Bandung selama lebih dari 30 tahun, Brian Khrisna pun menulis naskah cerita soal Bandung, tentang kota yang memiliki cerita yang jauh lebih kompleks dan mendalam, terutama saat malam menjelang pagi.

Di malam hari, Bandung berubah menjadi tempat yang berbeda. Orang-orang yang tersembunyi di siang hari, seperti waria dan gelandangan, mulai muncul di jalanan. Ini adalah sisi kota yang sering luput dari perhatian, tapi begitu nyata dan penuh cerita kehidupan. Brian ingin menampilkan realitas tersebut dalam bukunya, Bandung Menjelang Pagi, agar pembaca bisa melihat, bahwa Bandung tidak hanya tentang keindahan yang biasa digembar-gemborkan, tapi juga ada sisi gelap dan kerasnya kehidupan yang jarang secara gamblang diperlihatkan.

Bandung memang memiliki daya tarik yang kuat. Ada keseimbangan antara keindahan dan kekacauan, antara romantisme dan realisme yang membuat kota ini tampak begitu istimewa. Inilah juga yang membuat Brian memilih untuk menetap di Bandung, karena kota ini menawarkan pengalaman hidup yang penuh warna dan kontras.

Melalui cerita di dalam novel terbarunya ini, Brian berharap pembaca dapat melihat Bandung dari perspektif yang lebih luas. Kota ini bukan hanya tentang pesona dan romantisme, tapi juga tentang kehidupan yang berjalan di bawah permukaan, memberikan pengalaman yang unik, dan tak terlupakan.

Sebagai seorang penulis, Brian memiliki kegemaran mengamati orang-orang di sekitarnya, memahami kehidupan mereka hingga menjadi sumber inspirasi dalam menciptakan cerita. Melalui pengamatan yang mendalam, Brian bisa menangkap sisi-sisi realitas yang sering terabaikan, yang sebenarnya sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, dari perjalanan hidup seorang pemulung, atau pengalaman seorang pedagang nasi goreng pinggir jalan yang sering dipandang sebelah mata, terdapat cerita-cerita yang mengandung nilai kemanusiaan tinggi. Hal-hal seperti ini kerap kali menjadi bahan bakar kreativitas yang memicu ide untuk mengembangkan cerita yang mendalam dan berkesan.

Ketika menulis, pengamatan terhadap kehidupan orang lain juga sering kali menjadi dasar pembuatan karakter dan alur dalam cerita. Sebagai contoh, pengalaman mendengarkan cerita dari seorang waria yang awalnya enggan berbagi, tapi kemudian terbuka setelah merasa diperlakukan sebagai sesama manusia, memberikan pandangan baru dan autentik yang dapat diangkat dalam sebuah karya. Pengalaman hidup seperti ini tidak hanya memperkaya cerita, tapi juga memberikan dimensi moral yang kuat, yang mengajak pembaca untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

Namun, meskipun memiliki kekayaan pengamatan dan cerita, ada tantangan tersendiri dalam menulis cerita yang seimbang antara realitas dan elemen fiksi, terutama dalam membangun aspek romantis dari sebuah cerita. Kadang juga, untuk menghidupkan kembali perasaan dan dinamika cinta bisa menjadi sulit, terutama ketika sudah lama tidak merasakannya secara pribadi. Oleh karena itu, riset melalui media seperti drama Korea atau karya-karya lain sering kali menjadi cara untuk meremajakan kembali sentuhan romantis dalam cerita, meski tetap harus berusaha menghindari klise yang berlebihan.

Pada akhirnya, setiap cerita yang ditulis tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan membuka mata pembaca terhadap berbagai realitas kehidupan. Brian tidak hanya menciptakan sebuah dunia cerita yang menarik, tapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap karyanya, dengan harapan, pembaca dapat lebih memahami dan menghargai keragaman pengalaman manusia yang ada di sekeliling mereka.

Dalam buku Bandung Menjelang Pagi, Brian mengungkapkan bahwa ia sangat menyukai bagian prolog dalam bukunya itu. Ia merasa bahwa diksi yang digunakannya dalam bagian prolog tersebut cukup bagus. Ia berusaha untuk menyampaikan sesuatu yang berbeda tentang Bandung. Brian ingin agar para pembaca, yang sering kali mulai membaca dari halaman awal, bisa segera memahami bahwa meskipun Bandung memiliki pesona romantis, kota ini juga sering kali menyisakan kekecewaan.

Salah satu kutipan yang ia tulis adalah, “Oleh-oleh terbaik dari kota Bandung adalah patah hati.” Kutipan ini muncul sebagai refleksi dari pengalaman banyak orang yang merasakan kekecewaan, terutama dalam urusan cinta, setelah “berhubungan” dengan kota ini.

Brian juga menjelaskan mengapa ia memilih untuk menggambarkan Bandung dengan cara ini. Menurutnya, Bandung adalah kota yang sering kali melumat habis harapan orang-orang dan mengubahnya menjadi rasa kecewa. Ia memberikan analogi sederhana, seperti saat seseorang sedang terburu-buru menuju suatu tempat dan tiba-tiba kehabisan bensin, atau saat sedang lapar, lalu gas habis ketika ingin memasak mi instan. Kota Bandung sering kali membawa kekecewaan kecil seperti itu, terutama dalam hal percintaan. Banyak teman-temannya yang pernah disakiti oleh orang Bandung, hingga muncul stereotipe bahwa hubungan asmara yang dibawa ke Bandung akan berakhir dengan perpisahan.

BANDUNG menjelang pagi

Reaksi dari para pembaca juga sangat positif ketika Brian membagikan prolog ini di media sosial. Banyak yang langsung tertarik dengan ceritanya, terutama setelah Brian menekankan bahwa Bandung Menjelang Pagi adalah novel terbaik yang pernah ia tulis, bahkan lebih baik dari karya-karyanya sebelumnya. Ia juga menyarankan pembaca untuk membeli buku ini di toko buku resmi, baik online maupun offline, dan menghindari membeli buku bajakan.

Artikel di atas disarikan dari podcast Behind The Book.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *